Ini adalah cerpen pertamaku yang aku coba buat dengan sungguh-sungguh. Cerpenku ini terinspirasi dari bencana yang terjadi saat ini. Gunung Sinabung dan banjir dimana-mana. Kukira bencana yang sesungguhnya adalah meletusnya gunung Sinabung. Sedangkan banjir seperti di Manado, Jakarta, Semarang, Jepara, serta daerah-daerah lainnya termasuk daerahku Pati yang juga banjir adalah ulah dari manusianya sendiri. Di twitter sangat ramai sekali dibahas. Semua pihak saling menyalahkan, ku kira sudah bukan waktunya lagi untuk menyalahkan. Akhirnya aku mencoba membuat cerpen ini. Tepatnya mulai tanggal 23 Januari 2014 aku menulisnya.
Bencana, Siapa Yang Salah?
Kisah anak yang tinggal di kaki gunung, desa yang cukup jauh dari kota. Tinggal dalam rumah kecil yang terbuat dari kayu, rumah yang kuat dan nyaman untuk bertempat tinggal, hidup bahagia dengan kedua orang tuanya. Seperti anak remaja lainnya dia bersekolah dengan harapan kedua orang tuanya kelak dia menjadi orang hebat. Namun sudah beberapa hari sang anak tak bersekolah karena hujan yang turun terus menerus dan membuat aktivitas warga desa terhenti. Semua berteduh dalam rumah dan berharap hujan segera reda agar dapat beraktivitas kembali seperti biasa.
Saat pagi yang masih gelap dimana semua warga desa terlelap di atas ranjangnya masing-masing. Air kiriman dari gunung menerjang desa, menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Semua rumah hancur, pemukiman dan ladang warga tergenang air seperti lautan. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya air dan pohon besar yang terlihat hanya setengah bagian atasnya saja.
Anak itu selamat, dia berada disalah satu pohon besar yang bagian atasnya tak terendam. Potongon papan kayu rumahnya lah yang menyelamatkannya, terapung terbawa arus dan terhenti di pohon itu. Bersyukurlah sang anak ketika melihat pohon memiliki buah yang banyak. Buah yang bisa untuk mengganjal rasa lapar pada perutnya, untuk menunggu hingga airnya surut. Agar sang anak bisa turun dan mencoba mencari keluarganya yang berharap masih hidup.
Air sudah mulai surut, turunlah anak itu dari pohon. Dengan wajah sedih penuh harap, dia berteriak memanggil kedua orang tuanya "ayaaah,ibuuuu" seperti itu berulang-ulang. Terus berjalan menyusuri reruntuhan rumah dan sampah yang berserakan, membelah air yang masih setinggi lutut. Tak tau arah mana yang dituju, dia hanya mengikuti kemana kakinya melangkah dan terus berteriak. Semua hancur rata yang terlihat hanya air dan puing-puing rumah, hingga tak tau di sebelah mana bekas rumahnya. Mencari terus mencari bersama para relawan yang berdatangan dari berbagai daerah. Teriakan dan doa dalam hati yang tak pernah berhenti.
Wajah sedih itu seketika berubah menjadi tangisan, air mata terus menetes sesaat setelah menghampiri para korban yang di evakuasi para relawan. Dia mendapati kedua orang tuanya sudah tak bernyawa. Sedih marah menjadi satu dalam hatinya, sedih karena kehilangan kedua orang tuanya dan marah siapa yang salah dan bertanggung jawab dalam bencana ini. Ingin di temuinya pemimpin daerah di kota, baginya pemimpinlah yang bertanggung jawab dalam hal ini.
Sampailah dia di kota dengan menumpang rombongan relawan. Didatangilah rumah pemimpin daerah yang telah ditunjukan oleh relawan. Kemarahan yang ingin sekali di sampaikan kepada walikota. Bertemulah dia dengan walikota pemimpin daerah setempat.
"hay kau bapak pemimpin yang terhormat. Kenapa bisa bencana ini terjadi? tahukah kau pak walikota, kedua orang tuaku kini tiada. Lalu siapa yang salah dan bertanggung jawab dalam hal ini?." kata sang anak.
"anak muda maafkan aku, aku telah lalai dalam hal ini. Sesungguhnya sepenuhnya ini bukan salahku, ini ulah para penebang liar. Mereka menebang pohon-pohon di hutan, membuat hutan menjadi gundul. Pohon yang seharusnya dapat menyerap air kini habis ditebang. Aku sudah memperingatinya, bahkan menghukum mereka yang tertangkap. Tapi mereka sangatlah banyak dan sulit dibereskan." jawab sang walikota.
Maralah anak itu kepada para penebang liar, kenapa mereka tega lakukan itu. Didatangilah alamat penebang liar yang diberikan oleh pak walikota. Marah-marahlah sang anak pada sang penebang hutan.
"hay kau penebang liar yang tak bertanggung jawab. Kenapa kau tega menebang hutan hingga gundul. Dan kini terjadi bencana banjir bandang yang menghancurkan desaku merenggut kedua nyawa orang tuaku. Lalu siapa yang salah dan bertanggung jawab dalam hal ini?." kata sang anak.
"hay anak muda maafkan aku yang telah menebang hutan. Tapi kami lakukan ini karena kami disuruh pengusaha. Kami terpaksa melakukan ini karena kami butuh uang untuk menafkahi keluarga kami, kayu yang kami tebang kami berikan ke pengusaha itu. Pengusaha itu memberi kami upah atas apa yang telah kami kerjakan." jawab para penebang.
Pergilah sang anak ketempat pengusaha untuk meminta penjelasan. Dengan nada keras marahlah sang anak kepada pengusaha itu.
"hay kau bapak pengusaha, kenapa kau ambil pohon dihutan. Kau suruh para penebang dan kau beri upah, lalu kau bawa kayunya. Tahukah bapak karna pohon yang bapak ambil hutan kini gundul. Karena hutan gundul bencana banjir bandang yang mengahncurkan desaku serta merenggut nyawa orang tuaku. Lalu siapa yang salah dan bertanggung jawab dalam hal ini?." kata sang anak.
"hay anak muda maafkanlah aku, aku olah pohon yang aku ambil dari hutan itu. Aku olah dipabrik sehingga menjadi kertas, dan dibuat menjadi buku dimanfaatkan untuk anak-anak belajar agar kelak bisa menjadi orang hebat. Aku bawa kayu itu ke pengrajin, dibuatlah potongan-potongan kayu oleh mereka agar bisa dimanfaatkan untuk membuat rumah yang kokoh dan nyaman oleh warga desa yang membangun rumah. Maafkan aku anak muda." jawab sang pengusaha.
Sang anak pergi dia menggerutu dia bingung siapa yang pantas disalahkan sedangkan dia juga memanfaatkan kertas untuk sekolah serta potongan kayu untuk rumahnya yang kini hancur. Kembalilah dia ke hutan, karena dia bingung ingin kemana. Orang tua kini tiada, sanak saudara pun tak punya. Hanya celana kolor yang digunakanlah yang dimilikinya saat ini
Hiduplah dia di hutan di bawah pohon yang besar dia tinggal. Pohon yang daunnya sangat lebat melindunginya dari sinar matahari di siang hari. Pohon yang sangat banyak buahnya, dimakanlah buah itu untuk mengganjal lapar. Hari menjelang malam, angin yang berhembus membuatnya kedinginan. Diambilah daun dari pohon itu, dengan ranting-ranting kecil di anyamnya daun itu menjadi baju agar tubuhnya tak lagi kedinginan. Saat tiba waktunya tidur dia bingung karena tubuhnya akan kotor oleh tanah. Diambilnya lagi daun dan ranting di anyamnya menjadi sebuah alas untuk tidur. Karena daun mudah kering, baju dan alas tidur itu harus ganti dua hari sekali. Begitulah seterusnya daun dan buah dari pohon di manfaatkannya untuk bertahan hidup.
Hari demi hari telah berlalu tak terasa sudah berbulan-bulan aktivitas itu dilakukannya. Dimanfaatkannya daun dan buah dari pohon itu. Dia senang dia kenyang tak merasa kedinginan. Matahari tepat diatas kepala, sang anak mencoba untuk tidur siang di bawah pohon. Sinar matahari menyengat ke tubuh si anak melalui celah daun pada pohon. Sang anak marah karena tidur siangnya terganggu. Anakpun bangun lalu marah-marah kenapa cahaya matahari ini bisa menyengat tubuhnya padahal dia sudah berteduh di bawah pohon. Dia menoleh ke atas, dilihatnya sinar matahari melalui celah-celah pada pohon yang daunnya kini tak selebat dulu.
Sang anak hanya bisa menunduk setelah mengetahuinya. Dia sadar pohon yang dulu lebat sangat nyaman untuknya berlindung dari sinar matahari kala siang hari. Kini sudah tidak lagi karena daunnya yg lebat berkurang sehingga muncul celah-celah untuk masuknya sinar matahari. Anak sadar itu adalah ulahnya sendiri, dia memanfaatkan daun dari pohon untuk dibuatnya baju agar tak kedinginan dan dibuatnya alas agar tak kotor saat tidur. Karena terlalu menikmati hasilnya dia lupa kalau apa yang dilakukannya akan menimbulkan masalah di waktu yang akan datang. Daun dia ambil, buah dia makan semua lama-kelamaan akan habis tak bersisa. Tak mungkin jika dia menyalahkan dirinya sendiri, karena jika itu dilakukan tak akan ada untungnya.
Kini dia sadar apa yang dilakukannya selama ini, hanya marah-marah mencoba mencari akar masalah bukannya mencari solusi. Menyalahkan apa yang dianggapnya salah hingga lupa bagaimana cara menyelesaikan semua masalah. Dia mencoba mencari solusi dengan cara menanam pohon lagi yang banyak sebelum daun dan buah di pohon itu habis. Sehingga kelak saat pohon yang sekarang tak lagi berdaun dan tak ada lagi buah, pohon yang ditanamnya sudah tumbuh besar dan dapat dinikmati hasilnya.
Idenya keren!
BalasHapusCuma kurang luwes aja penyampaiannya. Latihan nulis terus ya...
Oya, waktu aku baca ini, lebih kayak dongeng anak-anak dek. Mungkin karena kamu menggunakan tokoh 'sang anak'. Kalau menurutku, mending kamu pakai POV 1, ganti tokohnya menjadi 'aku' agar lebih dekat dengan pembaca dan lebih 'ngena'. Atau pakai POV 3 bisa juga, cuma tokohnya itu dikasih nama.
Dan lagi, penyampaianmu terlalu menggurui. Pembaca itu pintar, mereka bisa menyimpulkan sendiri makna dari tulisan. Kamu hanya perlu menunjukkannya, tidak perlu menjelaskannya secara gamblang.
Kamu juga harus bedain 'di' sebagai awalan dan 'di' sebagai kata depan.
Untuk awalan, contoh: dimakan (disambung)
Untuk kata depan, contoh; di pabrik (dipisah)
Beberapa kesalahan lagi:
- Tau (seharusnya 'tahu')
- Orang tua (seharusnya orangtua karena yang kamu maksud itu orangtua sang anak. Kalau menunjuk orang yang sudah tua, baru penulisannya dipisah).
- Aktivitas (seharusnya aktifitas)
Oke. Segitu dulu kayaknya.
Keep writing^^
Oke kak masukannya akan di coba di cerpen berikutnya kak :)
BalasHapusNah, langsung salah lagi. Seharusnya dicoba tuh, bukan di coba. :)
HapusBtw 'aktivitas' bener ding...
Maaf ya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusIya ya, bahkan komenku juga dikomen, semoga cerpen baruku dah bener ya kak, dah aku baca berkali-kali. Aku ngeblog pake hp loh kak :D. Soalnya kyboard laptop ngambek. Jadi maaf kalo ga teliti.
HapusOke kak masukannya akan di coba di cerpen berikutnya kak :)
BalasHapus