Selasa, 25 November 2014

Adopsi

"Goooollllll..." Teriakan Tomi disertai selebrasi berlari ketengah lapangan merayakan golnya. Joni dan kawan-kawan hanya bisa merundukan kepala, melihat gawang timnya dibobol Tomi untuk ketiga kalinya. Hari yang sepertinya tidak bersahabat bagi Joni.

Hari mulai gelap, matahari perlahan terlihat mulai tenggelam. Pertanda permainan sudah usai. Joni harus menerima kekalahan timnya dengan lapang dada.

"Mari pulang Jon!" Tomi mengajak Joni untuk pulang bersama, karena rumah keduanya berdekatan.

*****

"Sudah banyak yang berubah sekarang." Joni membuka pembicaraan.

"Sudah berapa tahun kita tidak kesini Jon?" Tanya Tomi.

"Entah lah, mungkin sekitar 20 tahun di perantauan Tom."

"Coba lihat itu." Telunjuk Tomi coba mengarahkan pandangan Joni, "pohon besar itu tak lagi ada," Pohon yang sangat besar untuk menaruh sepeda di bawahnya agar tak kepanasan.

"Kau benar, tiang gawang bambu pun kini berubah jadi besi."

"Jon tidak kah kau ingin main sepak bola lagi?" Tanya Tomi melihat ke arah Joni.

"Sudah tua Tom, biarlah anak-anak itu yang bermain."

"Ku harap itu bukan jawaban karena kau takut ku kalahkan lagi." Tawa keduanya terdengar riang. Wajah Joni pun terlihat tersipu malu. Mungkin benar itu hanya alasan Joni takut dikalahkan lagi oleh Tomi.

Joni tak sanggup menutupi mukanya yang mulai memerah karena malu. Ditambah melihat Tomi yang sepertinya sangat puas menertawainya."Eh, anakmu nendangnya pakai kaki kiri sepertimu." Joni mencoba mengalihkan pembicaraan. 

"Anakmu larinya kencang Jon, sepertimu dulu."

"Itu anakmu, suka mendorong lawannya sama seperti ayahnya."

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya Jon. Anakmu pemarah persis sepertimu Jon."

"Ah anakmu gak bisa lompat tinggi kayak kamu." Joni pun tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.

Aksi saling sindir keduanya berlangsung heboh, disertai tawa riang mengingat masa lalu. Mungkin saling sendir ini bila dilakukan 20 tahun lalu sudah terjadi perkelahian antara keduanya. Sampai tak terasa langit mulai gelap. Senja pun hanya terlihat mulai tenggelam, awan berubah menjadi oranye seperti warna jeruk.

"Ayaaaaah..." Suara anak kecil yang berlari menghampiri ayahnya. Segera ikut duduk di pematang sawah di samping ayahnya setelah selesai bermain bola. Ayahnya menyeka keringat si anak yang mengalir di wajah menetes dari rambut.

"Ayah aku lapar. Masak apa yah?" Dengan wajah merunduk terlihat lesu dan kelelahan.

"Ayam goreeeeeeng." Jawab Tomi dan Joni bersamaan.

"Asyiiiiik." Seketika langsung berdiri dan tampak bersemangat. Seperti anak sekolah ketika mendengar bel pulang berbunyi. Si anak berlari kencang, berharap segera sampai rumah untuk memberi makan cacing-cacing di perutnya yang sudah berdemo.

Tomi dan Joni mempercepat langkah kaki untuk membuntuti anaknya. Memastikan anaknya tak salah jalan pulang. Mengingat ini adalah hari pertama mereka di kampung halaman setelah bertahun-tahun hidup di perantauan.

Minggu, 16 November 2014

Pembalasan


Gulali (sumber : Link )
Bel istirahat sudah berbunyi, terlihat para murid berhamburan keluar kelas. Akhirnya yang aku tunggu datang juga, gadis dengan rambut sebahu dan bando merah di atasnya. Dia pun duduk di bawah pohon dengan kaki dilipat ke belakang sebelah kanan dan kedua tangan di pangkuan.

"Ini!" sebuah gulali dua warna berbentuk hati ditawarkan teman lelakinya. Lelaki yang sama dengan gulalinya yang dibeli dari penjual gulali di depan gerbang sekolah. Mereka selalu mengahabiskan waktu istirahatnya untuk menikmati gulali di bawah pohon dengan melihat teman-temannya bermain dan berlari-larian.

Di balik pohon ini aku bisa melihat betapa dia tengah asyik menikmati gulalinya. Berkali-kali dia mengulumnya dan sesekali memainkan lidahnya di dalam hingga terlihat rahang bawahnya yang bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Bel masuk pun telah berbunyi, sontak semua murid berlari menuju kelas masing-masing termasuk dia dan teman lelakinya.

Perlahan aku mendekati gulali yang dia buang. Gulali ukuran besar hingga tak cukup waktu 30 menit istirahat untuk mengahabiskannya. Dia terpaksa membuangnya karena dilarang membawa makanan saat jam pelajaran berlangsung.

"Manisnya, gulali yang enak sekali," ucapku menikmati gulali yang terbuang. Betapa beruntungnya aku setiap hari bisa merasakan gulali yang sempat bergoyang dimulutnya.

*****

"Ke mana dia? Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Tapi dia tak juga terlihat," kedua bola mataku mencoba terus mencarinya dari balik pohon.

*****

"Kepala, pundak, lutut dan kaki, pinggul digoyang bertepuk tangan. Kepala, pundak, lutut dan kaki, pinggul digoyang bertepuk tangan."

Terdengar alunan musik yang mengiringi gerakan senam siswa-siswi di halaman sekolah. Rutinitas sekolah setiap jumat pagi. Lagu senam yang mengajak untuk menggerakan badan mengikuti irama bagi siapapun yang mendengarnya.

Bel istirahat pun sudah berbunyi, namun aku masih juga tak melihatnya. Sudah satu minggu ini dia tak datang ke pohon. Pohon tempat di mana aku selalu menunggunya.

"Oh Tuhan di mana dia?" Akhirnya aku memutuskan mencoba berkeliling sekolah untuk mencarinya.

"Oh di sana rupanya," Duduk berdua di bangku kantin yang baru direnovasi. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampirinya. Mencoba menguping apa yang mereka bicarakan dari jarak dekat.

"Bagaimana enakan makanan di sinikan? Aku bosan gulali terus," tanya lelaki itu dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Oh jadi dia yang mengajak ke sini, hingga tak pernah lagi aku melihatnya di pohon."

"Perlu kuberi pelajaran!" aku pun mengendap-endap berjalan ke arahnya.

"Aaaauuuuwwww," jeritan lelaki itu terdengar keras.

Tanpa pikir panjang aku berlari menjauh untuk bersembunyi. "Untung aku tidak terinjak," seraya mengelus dada.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

"Gak papa cuma gatal sedikit dan agak merah. Palingan hanya bentol," jelas si lelaki itu dengan menunjukan bagian kaki yang terasa gatal.

"Rasakan gigitanku, karena kau telah mengganggu jatah makan siangku." ujarku meninggalkannya untuk kembali ke pohon tempat di mana aku merasa aman.