Jumat, 14 Agustus 2015

Belajar Cinta Dari Politikus

Pada tahun 2014 Indonesia tengah menikmati pesta demokrasi pemilu anggota DPR sekaligus Pilpres. Sangat disayangkan para pendukung saling tengkar serta terbelah karenanya. Itupun masih terasa sampai saat ini di media sosial.

Ketika berkampanye para calon mulai menebar kata-kata manis. Menyampaikan visi misinya dengan menyebar janji-janji hingga mangklaim diri paling bersih dan paling jujur. Saat sudah terpilih satu persatu pendukung pun kecewa saat pilihannya tak menepati janji atau tertangkap KPK. Rasa kecewa sebab mudah percaya apa yang dikatakan dan terlalu berharap. Konon politikus sendiri bingung kenapa orang-orang percaya apa yang dikatakan karena dirinya sendiri tak percaya apa yang telah dikatakan.

Begitu pun cinta, di era internet terutama media sosial saat ini serta acara-acara telivisi menyatakan cinta adahal biasa. Orang tak malu lagi mengatakan cinta setiap saat bahkan di depan umum. Melontarkan gombalan-gombalan yang diri sendiri pun sebenarnya tak tahu apa artinya karena hanya meniru yang ada dari media sosial. Karena menyatakan cinta sudah biasa tak sedikit orang yang hanya iseng untuk mengucapkannya tanpa ada rasa. Seperti quote yang sedang populer "Kalau dia bisa nulis 'wkwk' tanpa tertawa, berarti dia juga bisa nulis 'I love you' tanpa mencintaimu". Nyatanya memang sekarang berbohong itu ringan tanpa beban mudah lagi, termasuk testimoni saya sendiri. Apa lagi banyaknya joke yang membully jomblo akhirnya banyak prinsip "yang penting gak jomblo" walau tak mencintai.

Karena banyak yang sudah muak dengan kata-kata politikus akhirnya banyak pemilih yang mencoba mencari track record para calon. Karena tindakan yang dilakukan lebih menjajikan dan meyakinkan.

Mungkin itu yang harus dipraktekan dalam mencari cinta. Sayangnya kata-kata itu memang manis bikin ngefly dan manis itu enak ngefly bikin lupa diri. Namun saya banyak melihat di dunia nyata mau pun medsos orang mengeluh merasa tak ada yang cinta dengannya termasuk keluarga dan orang sekitar, salah satunya saudara saya sendiri. Kalau memang rasa yang timbul akibat galau atau kesepian alias khilaf masih manusiawi. Namun kalau merasa seperti itu setiap saat sepertinya tidak mungkin. Atau mungkin cinta yang dibutuhkan adalah ucapan sedangkan tak semua orang menyatakan cinta dengan ucapan melainkan dengan tindakan. Sayangnya perlu hal besar baru menyebutnya cinta, misal mati karena melindunginya, nganterin nasi goreng malam pas hujan lebat plus banjit. Hingga melewatkan hal-hal kecil yang dilakukan orang sekitar atas dasar cinta.

Sebagai penutup saya mengambil kata legendaris. "Dari dulu begitulah cinta deritanya tiada akhir" Cu Pat Kai.