"Goooollllll..." Teriakan Tomi disertai selebrasi berlari ketengah lapangan merayakan golnya. Joni dan kawan-kawan hanya bisa merundukan kepala, melihat gawang timnya dibobol Tomi untuk ketiga kalinya. Hari yang sepertinya tidak bersahabat bagi Joni.
Hari mulai gelap, matahari perlahan terlihat mulai tenggelam. Pertanda permainan sudah usai. Joni harus menerima kekalahan timnya dengan lapang dada.
"Mari pulang Jon!" Tomi mengajak Joni untuk pulang bersama, karena rumah keduanya berdekatan.
*****
"Sudah banyak yang berubah sekarang." Joni membuka pembicaraan.
"Sudah berapa tahun kita tidak kesini Jon?" Tanya Tomi.
"Entah lah, mungkin sekitar 20 tahun di perantauan Tom."
"Coba lihat itu." Telunjuk Tomi coba mengarahkan pandangan Joni, "pohon besar itu tak lagi ada," Pohon yang sangat besar untuk menaruh sepeda di bawahnya agar tak kepanasan.
"Kau benar, tiang gawang bambu pun kini berubah jadi besi."
"Jon tidak kah kau ingin main sepak bola lagi?" Tanya Tomi melihat ke arah Joni.
"Sudah tua Tom, biarlah anak-anak itu yang bermain."
"Ku harap itu bukan jawaban karena kau takut ku kalahkan lagi." Tawa keduanya terdengar riang. Wajah Joni pun terlihat tersipu malu. Mungkin benar itu hanya alasan Joni takut dikalahkan lagi oleh Tomi.
Joni tak sanggup menutupi mukanya yang mulai memerah karena malu. Ditambah melihat Tomi yang sepertinya sangat puas menertawainya."Eh, anakmu nendangnya pakai kaki kiri sepertimu." Joni mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Anakmu larinya kencang Jon, sepertimu dulu."
"Itu anakmu, suka mendorong lawannya sama seperti ayahnya."
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya Jon. Anakmu pemarah persis sepertimu Jon."
"Ah anakmu gak bisa lompat tinggi kayak kamu." Joni pun tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
Aksi saling sindir keduanya berlangsung heboh, disertai tawa riang mengingat masa lalu. Mungkin saling sendir ini bila dilakukan 20 tahun lalu sudah terjadi perkelahian antara keduanya. Sampai tak terasa langit mulai gelap. Senja pun hanya terlihat mulai tenggelam, awan berubah menjadi oranye seperti warna jeruk.
"Ayaaaaah..." Suara anak kecil yang berlari menghampiri ayahnya. Segera ikut duduk di pematang sawah di samping ayahnya setelah selesai bermain bola. Ayahnya menyeka keringat si anak yang mengalir di wajah menetes dari rambut.
"Ayah aku lapar. Masak apa yah?" Dengan wajah merunduk terlihat lesu dan kelelahan.
"Ayam goreeeeeeng." Jawab Tomi dan Joni bersamaan.
"Asyiiiiik." Seketika langsung berdiri dan tampak bersemangat. Seperti anak sekolah ketika mendengar bel pulang berbunyi. Si anak berlari kencang, berharap segera sampai rumah untuk memberi makan cacing-cacing di perutnya yang sudah berdemo.
Tomi dan Joni mempercepat langkah kaki untuk membuntuti anaknya. Memastikan anaknya tak salah jalan pulang. Mengingat ini adalah hari pertama mereka di kampung halaman setelah bertahun-tahun hidup di perantauan.
Ini pasangan gay yang adopsi anak gitu ya ceritanya?
BalasHapusIdenya bagus...
Coba diperbaiki cara penulisan dialognya. Baca-baca di sini ya: http://menuliskalimat.com/2012/10/kalimat-langsung.html?m=0
Eksekusinya memang belum 'greng'. Tapi aku akui tulisanmu udah ada peningkatan daripada yang dulu-dulu. Ini soal jam terbang aja sih. Nulis terus ya... :D
Iya kak. Kemaren kan lama ga nulis cerpen karena banyakin baca dulu di MFF dan punya kakak ga pernah kelewatan. Jadi kurang 'greng' ya. Okelah tambah belajar lagi biar bisa 'greng-greng' sampe 'duar'. Oke kak meluncur ke tkp.
BalasHapusAsiiiik aku punya pembaca setia!! *jingkrak-jingkrak*
HapusMakasih lho :D
Iya kak. Setia menyedot ilmunya. :D
Hapus