Minggu, 16 November 2014

Pembalasan


Gulali (sumber : Link )
Bel istirahat sudah berbunyi, terlihat para murid berhamburan keluar kelas. Akhirnya yang aku tunggu datang juga, gadis dengan rambut sebahu dan bando merah di atasnya. Dia pun duduk di bawah pohon dengan kaki dilipat ke belakang sebelah kanan dan kedua tangan di pangkuan.

"Ini!" sebuah gulali dua warna berbentuk hati ditawarkan teman lelakinya. Lelaki yang sama dengan gulalinya yang dibeli dari penjual gulali di depan gerbang sekolah. Mereka selalu mengahabiskan waktu istirahatnya untuk menikmati gulali di bawah pohon dengan melihat teman-temannya bermain dan berlari-larian.

Di balik pohon ini aku bisa melihat betapa dia tengah asyik menikmati gulalinya. Berkali-kali dia mengulumnya dan sesekali memainkan lidahnya di dalam hingga terlihat rahang bawahnya yang bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Bel masuk pun telah berbunyi, sontak semua murid berlari menuju kelas masing-masing termasuk dia dan teman lelakinya.

Perlahan aku mendekati gulali yang dia buang. Gulali ukuran besar hingga tak cukup waktu 30 menit istirahat untuk mengahabiskannya. Dia terpaksa membuangnya karena dilarang membawa makanan saat jam pelajaran berlangsung.

"Manisnya, gulali yang enak sekali," ucapku menikmati gulali yang terbuang. Betapa beruntungnya aku setiap hari bisa merasakan gulali yang sempat bergoyang dimulutnya.

*****

"Ke mana dia? Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Tapi dia tak juga terlihat," kedua bola mataku mencoba terus mencarinya dari balik pohon.

*****

"Kepala, pundak, lutut dan kaki, pinggul digoyang bertepuk tangan. Kepala, pundak, lutut dan kaki, pinggul digoyang bertepuk tangan."

Terdengar alunan musik yang mengiringi gerakan senam siswa-siswi di halaman sekolah. Rutinitas sekolah setiap jumat pagi. Lagu senam yang mengajak untuk menggerakan badan mengikuti irama bagi siapapun yang mendengarnya.

Bel istirahat pun sudah berbunyi, namun aku masih juga tak melihatnya. Sudah satu minggu ini dia tak datang ke pohon. Pohon tempat di mana aku selalu menunggunya.

"Oh Tuhan di mana dia?" Akhirnya aku memutuskan mencoba berkeliling sekolah untuk mencarinya.

"Oh di sana rupanya," Duduk berdua di bangku kantin yang baru direnovasi. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampirinya. Mencoba menguping apa yang mereka bicarakan dari jarak dekat.

"Bagaimana enakan makanan di sinikan? Aku bosan gulali terus," tanya lelaki itu dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Oh jadi dia yang mengajak ke sini, hingga tak pernah lagi aku melihatnya di pohon."

"Perlu kuberi pelajaran!" aku pun mengendap-endap berjalan ke arahnya.

"Aaaauuuuwwww," jeritan lelaki itu terdengar keras.

Tanpa pikir panjang aku berlari menjauh untuk bersembunyi. "Untung aku tidak terinjak," seraya mengelus dada.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

"Gak papa cuma gatal sedikit dan agak merah. Palingan hanya bentol," jelas si lelaki itu dengan menunjukan bagian kaki yang terasa gatal.

"Rasakan gigitanku, karena kau telah mengganggu jatah makan siangku." ujarku meninggalkannya untuk kembali ke pohon tempat di mana aku merasa aman.

4 komentar:

  1. Jadi, si 'aku' ini apa? Semut?
    Kalau memang bener semut, rasanya agak janggal kalau dia berkeliling mencari gadis itu. Bayangkan, semut itu kecil. Mengelilingi sekolah akan membutuhkan waktu lama. Tidak akan semudah itu menemukan si gadis.

    Terus, cara si lelaki berteriak ketika digigit. 'Auuuuwww'-nya jangan terlalu panjang. Awalnya kupikir lelaki ini serigala hahaha. Cukup "Aw!" saja sudah menunjukkan rasa sakitnya.

    Tapi idenya bagus kok :D
    Semangat nulis terus yaaa.

    BalasHapus
  2. Iya kak kemaren juga bilang janggal pas itu. Tapi ya abis bingung mau gimana. Oke kak masukannya bermanfaat banget. Bakalan dipakai buat karya berikutnya.

    Ngomong-ngomong ini terinspirasi karya kaka yang sebutir bakso. Dimana 'aku' itu kucing. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. aih, senangnya tulisanku bisa bikin orang lain terinspirasi. makasih ya :)

      Hapus
    2. Sama-sama kak. Terus berkarya ya kak.

      Hapus