Jumat, 07 Februari 2014

Perlu Kerjasama Orangtua dan Anak

     Jaman sudah berkembang pesat terutama dalam hal tehknologi dan budaya. Perkembangan ini menyerang kaum muda mudi di seluruh dunia. Perkembangan tehknologi berkembang sangat pesat. Hampir semua anak muda tak ada yang gagap tehknologi. Dalam perkembangan tehknologi banyak yang beranggapan perkembangan positif atau pertanda majunya suatu negara. Lalu bagaimana dengan perkembangan budaya? Banya opini miring dalam hal ini.

     Perkembangan budaya di Indonesia banyak orangtua menilainya negatif. Para remaja hampir semua terserang budaya luar dan melupakan budaya negri sendiri. Kebanyakan remaja laki-laki menggandrungi budaya barat dengan gaya metalnya, sedangkan kebanyakan perempuan menggandrungi budaya korea dan jepang. Kegilaan budaya luar para remaja ini sering sekali diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam berbicara, berpakaian dan perilaku. Akhirnya para orangtua menyalahkan pergaulan dan jaman.

     Perkembangan jaman memang tak bisa dicegah maupun dihindari, tapi bisa diimbangi dengan selalu memberi contoh dan mengajari budaya sendiri supaya budaya Indonesia tidak punah. Disini saya akan gunakan contoh budaya jawa karena saya orang jawa.

     Banyak orangtua yang tak sadar kalau hampir 60% waktu anak dihabiskan di rumah dan 40% di sekolah dan bermain di luar rumah. Jadi anak lebih banyak belajar di rumah, lalu pada siapa mereka belajar? Ya pada orangtua. Mereka mengikuti atau meniru si orangtua itu sendiri baik terucap maupun tak terucap.


~ Bahasa

     Sekarang contoh dalam berbicara atau dalam bahasa. Anak sekarang lebih suka memakai bahasa gaul. Orangtua tak sadar mereka sendiri yang mengajarkan sejak kecil. Misal panggilan kepada orangtua. Pada tahun 90-an keatas hampir semua teman seusiaku panggil orangtua dengan "mak'e" dan "pak'e". Dan mulai tahun 2000 lah semua anak memanggil orangtua dengan panggilan "ayah" dan "ibu" padahal tempat saya pedesaan. Itu adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh anak, lalu siapa yang mengajari? Ya orangtua. Begitu juga dalam berhitung, orangtua lebih suka mengajarkan dengan bahasa Indonesia satu, dua, tiga, dst. Saat ditanya setunggal, kaleh, tigo, dst. Anak-anak tidak bisa jawab, jangankan yang krama alus bahasa jawa sehari-hari selawe, seket, atau sewidak banyak anak sekarang yang tidak tahu. Dari sinilah anak mulai terbiasa menggunakan bahasa Indonesia tanpa mengenal bahasa daerah. Semakin dewasa anak akan semakin banyak bahasa gaul yang dipelajari.

     Lalu apa dampaknya? Saat anak mulai dewasa dan mulai bersosialisasi akan terlihat. Misal sang anak diajak orangtua pergi, di jalan bertemu orang atau teman si orangtua. Nah orang ini mencoba mengobrol dengan si anak. Mungkin akan menggemaskan jika sang anak masih balita menjawab pertanyaan itu dengan bahasa jawa biasa dicampur bahasa Indonesia. Tapi reaksi lain akan keluar dari orangtua saat anak ini sudah SMA. Yang sering di ucapkan orangtua "eh adek gunakan basa jawa krama alus dong kalau diajak bicara orang yang lebih tua". Ketika orang itu pergi orangtua memarahi anaknya "adek ini ga sopan kalau bicara ama orang tua pake bahasa krama kan adek orang jawa, dasar anak jaman sekarang". Dalam kasus ini anaklah yang disalahkan tanpa orangtua mencoba intropeksi diri. Anehnya lagi bahasa yang tidak bagus, maaf kalau terlalu vulgar seperti "picek, asu, ndasem, kakekan, dll" malah awet sampai sekarang. Ya karena bahasa seperti itu sering terucap oleh orangtua ketika berbicara dengan orangtua lain. Anak memang tidak diajari tapi mereka meniru apa yang dilihat maupun didengar.


~ Fashion

     Budaya dalam berpakaian bagi remaja. Di Indonesia hampir seluruh rumah mempunyai telivisi. Televisi adalah media masa paling berpengaruh saat ini. Dalam acara-acara yang ditampilkan kita bisa jumpai beraneka ragam fashion dari ala barat yang mengesankan sangar dan cool sampai ala jepang/korea yang menawan/unyu. Apa yang muncul di televisi terbukti sangat berpengaruh. Para remaja tampil tampan dan cantik layaknya sang artis pujaan.

     Lalu masalah mulai muncul ketika semakin banyaknya remaja yang berpenampilan ala selebriti para pekerja atau pengrajin pakaian adat mulai sepi peminat bahkan hampir dilupakan. Puncaknya saat warisan batik Indonesia yang beberapa tahun lalu hendak diklaim negara malaysia. Semua warga Indonesia geram dan marah. Dan yang terkena imbasnya adalah anak muda. Banyak orangtua bilang "ini karena para generasi muda yang malu memakainya dan tak mau menjaganya". Disini anak yang disalahkan lagi, padahal jika para orangtua tak mau mengenalkan apa itu batik. Bagaimana bisa disebut malu? Jangan rasa malu kenal saja tidak. Para orangtua lebih memilih membelikan anaknya pakaian ala artis dengan alasan modis dan trand. Lalu apa masih salah anak? Karena tidak mungkin baju-baju anak itu mereka beli sendiri, pasti yang membelikan orangtua karena mereka yang memegang uang. Nah dari kecil inilah para anak muda mulai terbiasa dengan fashion gaul daripada daerah. Padahal ini seharusnya ini adalah kerjasama antara orangtua dan anak. Dimana tugas orang tua mengenalkan dan sang anak mempelajari dan menjaganya.

     Aku punya teman dia anak pengrajin batik. Jadi dia suka pakai batik, bahkan sarungnya waktu sunatan batik buatan ibunya. Pernah juga dia memakai kemeja batik buatan ibunya sendiri. Baju buatan ibunya saat dipakai ada yang suka dan ingin membelinya. Teman saya menawarkan untuk memesan ke ibunya saja biar dapat baru, teman saya bilang kalau baju itu sayang kalau dijual soalnya bajunya bagus dan baru dipakai hari itu. Namun orang yang ingin membelinya tadi tidak bisa menunggu karena membuat kain batik satu saja bisa sampai seminggu kalau ga salah. Sedangkan orang itu bukan orang situ aku lupa orang luar kota atau orang luar negri kalau ga salah dan dia harus segera kembali. Lalu temanku pulang tanya ke ibunya. Ibunya membolehkan dijual karena nanti dibuatkan lagi. Padahal itu dulu sebelum batik terkenal seperti saat ini.

     Dari cerita temanku tadi bisa disimpulkan andai anak dikenalkan dengan batik sejak dini kurasa tak akan malu. Karena saat ini anak bukannya malu tapi tidak mengenal. Ya baru-baru ini saja banyak anak kecil menggunakan batik setelah batik dikampanyekan dimana-mana. Dan jujur saja saya baru mulai mengenal batik lebih dalam dari teman SMA ku itu. Ketika kelas 3 saya ditugaskan membuat proposal penjualan. Dan saya menggunakan produk batik sebagai produknya, dari situlah saya tanya-tanya dan akhirnya tahu kalau membuat batik tidak mudah dan lama apalagi itu Industri rumahan. Awalnya yang saya tahu batik hanya digunakan sebagai sarung, tapeh kain untuk selimut, atau jarek kain untuk menggendong bayi. Itupun sekarang selimut dan kain buat gendong bayi sudah banyak yang mengunakan model baru bukan dari batik lagi. Tanpa sadar orangtua juga tak menghargai batik.


~ Pacaran

     Kembali ke acara telivisi, acara yang ada saat ini memang tidak berimbang antara acara anak dan acara dewasa. Acara dewasa itu sendiri didominasi oleh sinetron dan acara gosip. Namun ada channel yang masih menampilkan kartun pada jam-jam dimana semua channel berisi acara dewasa. Seharusnya aman karena anak bisa nonton kartun. Tapi, apa yang sering saya temui dan laporan anak-anak, mereka suka rebutan remot dengan orangtuanya. Pastilah tau siapa yang menang, ya orang tua. Orang tua yang tak mau mengalah tanpa sadar mengajari anaknya mengonsumsi sinetron, dan hampir seluruh sintron tak lepas dari cinta, cinta, dan cinta.

     Mungkin bila anaknya sudah SMA atau kuliah tak menjadi masalah. Namun cerita akan lain lagi kalau sang anak masih SD. Disini masalah akan muncul. Saat pulang sekolah si anak bermain dengan temannya di halaman rumah. Terjadilah perbincangan sang anak dengan temannya.

"eh kamu tau ga? Kalau si A itu pacarku loh".

"oh iya si B itu pacarku, kerenan pacarku".

     Hampir semua orang tua yang mendengarnya akan merespon.
"eh masih kecil udah pacar-pacaran mau dijewer. sekolah yang bener yang pinter biar jadi dokter baru boleh pacaran".

     Namun setelah kejadian itu dan si anak telah diceramahi ono ini. Malamnya si orangtua mengajaknya menonton sinetron lagi tanpa ada arahan karena orangtua juga khusyuk menikmati.


~ Lagu

     Musik hal yang sulit sekali dipisahkan dari kehidupan manusia. Apalagi dengan banyak aneka ragam gadget yang memudahkan untuk mengakses musik. Dan para musisi lokal merajai musik di Indonesia. Banyak lagu- lagu berbahasa Indonesia dengan aneka ragam jenis. Karena lagu-lagu berbahasa Indonesia inilah semua orang mudah menyanyikannya dan menghafalnya.

     Yang sering orang tua pertanyakan minimnya lagu untuk anak. Anak-anak sekarang ikut menyanyikan bahkan hafal lagu-lagu cinta. Karena keponakan saya yang baru kelas satu SD juga begitu. Pernah suatu ketika ponakan baru pulang sekolah. Nyanyi-nyanyi lagu Geisha yang "lumpuhkan ingatanku".

"Kak hafal lagu lumpuhkan ingatanku ga?".

"Emang kenapa?".

"Tadi temenku nyanyi lagi itu, dia hafal. Aku diledek karena ga hafal".

Jadi saya kaget kok anak kecil nyanyinya dah lagu itu. Akhirnya saya ajarin satu baris pas reff "lumpuhkanlah ingatanku jika itu tentang dia". Nah si ponakan ngikutin, setelah itu langsung aku tanya.


"Adek emang tahu artinya?".

"Ngga, emang artinya apa?".

"Itu lagu orang pacaran adek, Jadi ingatannya disuruh lumpuhin atau dilupain supaya ngga inget pacarnya. Jadi itu lagunya orang yang dah gede yang udah pada pacaran. Emang ade dah gede?".

"Oh gitu ya kak, kaka dah gede tapi kok ngga pernah nyanyi lagu itu!"/

*pingsan.

     Dari cerita itu banyak anak kecil yang memang ngga tau apa yang mereka nyanyikan hanya sekadar mengikuti trand saja. Karena saat saya kenalkan lagu-lagu wajib  Indonesia dia suka. Tapi harus sabar mengenalkannya karena kita harus ikut juga menyanyi agar si anak semangat. Saat adek bertanya lagu yang ada musiknya seperti di televisi saya coba kenalkan lagu "Kepompong" Sid3ntosca, selain saya suka lagu itu tema persahabatan dalam lagu pas buat anak kecil. Setiap bait lagu aku jelasin dengan sebagai contoh dia dan temannya. Dan sekarang suka sekali menyanyikannya. Lagu cinta memang tak bisa dihindarkn dari anak-anak, tapi setidaknya bisa diimbangi dengan lagu yang memang cocok untuknya.

    Semua memang butuh kerja sama orangtua dan anak. Dengan pendekatan dan kesabaran mungkin bisa. Jangan terlalu suka menyalahkan anak jaman sekarang yang bertingkah layaknya orang dewasa, Karena menurut saya mereka korban tehknologi. Mudahnya bersosialisasi melalui media sosial faktor utamanya. Lalu siapa yang salah? Tidak ada yang salah namun ini adalah tanggung jawab bersama orangtua dan anak. Menjelaskan dan mengenalkan apa yang baik untuknya dengan kesabaran dan kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar